Saturday 7 November 2015

Belajar untuk menghargai

Halo dunia!

Kali ini saya hanya ingin sedikit share sedikit pemikiran yang sering diobrolkan dalam kepala ini. Ini tentang "belajar".
Belajar? Apa yang pertama terbayang di kepala soal "belajar"? Sekolah, matematika, sejarah, fisika, dan kawan-kawan?
Yuk ah perluas kalau kita masih tersempitkan oleh makna seperti itu.

Makna belajar sangat luas. Bahkan sudah fitrah seorang manusia untuk belajar. Orang pertama tau lapar akan belajar bahwa dia harus makan untuk mengatasi lapar. Hingga kini semua berkembang, hingga masalah yang diatasi sudah lebih advance. Oleh karena itu, makna belajar sangat luas, bahkan dari aspek yang sangat kecil hingga yang sangat besar.

Menurut saya, dibalik segala kegiatan ada bermacam pembelajaran yang dapat diambil, tergantung bagaimana kita melihatnya dari sudut pandangnya bagaimana.

Misalkan kita ambil contoh dari sekedar "membuat blog". Bagaimana rasanya membuat blog yang bagus? Menurut saya itu susah, bahkan ini saja masih jauh dari bagus. Coba kita ubah sudut pandang kita dengan berimajinasi menjadi seorang penulis novel. Kurang lebih sama kan konteksnya? Susah ga kira-kira menulis novel beratus-ratus halaman. Dari ini sini kita bisa paham, betapa kita ingin dihargainya hasil kerja keras itu, makanya ada harga untuk novel jadinya, ada yang namanya copyright, dan benar-benar ada yang namanya usaha untuk mengatasi pembajakan.

Nah, yang saya mau bahas adalah belajar yang sederhana, melalui kegiatan sehari-hari. Simpel kok, dan sebenarnya pemikiran ini sudah mulai terpikirkan sejak saya masih kuliah di S1 dulu.

Belajar hidup sendiri

Untuk memulai tulisan ini, satu hal penting yang menjadi kunci adalah belajar untuk hidup sendiri. Alhamdulillah, setelah lulus SMA, memang dari awal bapak saya menyuruh untuk jauh-jauh lah dari rumah, merantau lah bisa dibilang (walaupun kenyataannya Bandung hanya 2.5 jam dari Bekasi haha).

Ternyata memang begitu banyak hal positif yang bisa didapatkan dari hidup sendiri. Bukan bermaksud mendiskreditkan dan menganggap buruk yang tetap tinggal di rumah saat masa kuliah, karena bisa saja memang kota kampusnya sama dengan rumah atau ada constrain lainnya, tapi pasti ada juga hal lain yang bisa dipelajari bagi mereka yang masih tetap tinggal dengan keluarga. Maka saya hanya menuliskan sudut pandang saya sebagai yang mencoba hidup sendiri.

Mencuci baju sendiri

Saat kuliah S1 di Bandung, saya mencoba yang namanya mencuci baju sendiri, walaupun ga selalu karena kadang diselingi dengan cuci ke tempat laundry (sudah termasuk setrika ya disini kegiatannya).

Memang kalau dilihat secara sempit, pekerjaan mencuci ini sangat merepotkan dan seakan tidak berguna karena bisa dilimpahkan ke orang lain dengan syarat membayar. Banyak kerjaan yang bisa dikerjakan dengan waktu yang diambil.
Tapi saya pribadi menyarankan cobalah mencuci bajumu walaupun hanya sekali ketika kamu hidup sendiri di kosan. Kenapa?

Cobalah, dan lihat bagaimana capek dan lamanya waktu (kalau numpuk di akhir minggu) yang dibutuhkan. Capek? Malas jadinya? Ya, memang malesin dan lumayan makan waktu untuk saya karena saya kucek sendiri.
Yang saya lakukan hanya mengikuti ajaran ibu saya: kucek diawal untuk ngilangin kotoran atau keringat, kucek lagi nanti setelah ada sabunnya, lalu bilas. Minimal 3 kali kerja untuk satu potong baju (bisa 2 kalau kucekan awal tidak dilakukan).

Lalu setiap kali mencuci saya terbayangkan satu hal. Ada fenomena yang aneh yang selalu terjadi di rumah saya. Karena ibu saya adalah seorang PNS, maka pekerjaan ibu saya selalu mencuci baju (satu keluarga) setiap sabtu. Dan waktu yang dihabiskan sepenglihatan saya, selalu sekitar dari pagi hingga hampir tengah hari. Lalu nanti sorenya waktu dipakai lagi untuk menyetrika jemurannya. Dan hal itu selalu terjadi di akhir minggu.

WOW. Bukankah itu aneh kalau kita pakai perasaan kita yang tadi kita rasakan? Capek, malas. Tapi semua itu tetap dilakukan setiap minggunya. Oleh karena itu, bukankah itu hal yang menakjubkan.

Oleh karena itu, dengan sudut pandang seperti itu, pelajaran yang saya ambil dari sekedar "mencuci" ini adalah, kita tahu bagaimana capeknya sebuah pekerjaan sekedar "mencuci" itu. Dan kalau memang itu yang selalu dilakukan ibu kita, bukankah sudah seharusnya kita menghargai kerja kerasnya karena kita sudah tahu bagaimana capeknya pekerjaan itu? Setidaknya dengan begitu kita bisa mendapat alasan tambahan untuk lebih menghargai kerja kerasnya.

Memasak

Memasak tidak saya lakukan saat kuliah di Bandung. Hal ini saya baru lakukan begitu mencoba hidup di Tokyo. Dan saya baru belajar satu bulan sebelum berangkat, jadi ya kemampuan pun sangat minim hahaha.

Sedikit berbeda ketika hidup di Bandung dimana dengan sangat mudahnya makan dimana harga makan sangat mengerti status mahasiswa dan semua makanan dapat dimakan kecuali yang benar-benar tidak boleh dimakan, di Tokyo saya sedikit merasa butuh untuk memulai memasak sendiri. Dengan constrain beasiswa yang kalau dihitung-hitung pas-pasan kalau mau nabung, dan makan di luar juga kalau dekat dorm rada susah (untuk kasus akhir minggu), rasanya memasak jadi alternatif yang cukup dibutuhkan.

Tidak seperti membuat mi instant yang sangat cepat (bahkan kalau dulu akhir-akhir di Bandung cukup cup noodle yang hanya butuh 3 menit diseduh), ternyata yang saya rasakan memasak memakan waktu yang lama. Padahal yang saya buat hanya untuk porsi satu orang untuk 2-3 kali makan dan makanan yang sederhana misalnya tumisan saja, tetapi kalau saya perhatikan waktu yang saya habiskan bisa 1 jam sendiri (tidak usah dihitung bahwa ada variabel ke-amatir-an saya menambah waktu).
Sekedar tumisan 
Sekedar tumisan dan nugget halal
Sedikit kembali lagi ke rumah. Bayangkan bagaimana enaknya hidup di rumah. Saya bangun pagi, makanan secara ajaib juga udah ada di meja. Bangun tinggal makan, makan tinggal tidur.
Lalu pertanyaannya kapan proses memasak itu terjadi? Coba perhatikan sendiri bagaimana proses itu terjadi.

Masak pagi hari? Saya yang hanya harus berangkat jam 8 pagi saja, bangun subuh masih mepet deadline, tambah lagi berikutnya dimakan waktu buat masak. Rasanya malaaaas sekali.
Masak malam? Pulang dari kampus masih ada kerjaan (PR), perlu review sedikit materi tadi pagi, dan rasanya enaknya istirahat aja kalau sampai kamar. Rasanya malaaaas sekali.

So, bagaimana sihir tadi terjadi di rumah? Ya sudah jelas ibu yang melakukannya. Bangun sangat pagi demi masak. Dan kalau ga memungkinkan karena masaknya lama, masak malamnya setelah seharian kerja di kantor.

Lagi-lagi WOW. Tidak perlu penjelasan ulang.

Jadi, kalau kita sering berkata "Kok ga ada rasanya?", "Ah makanannya ini-ini mulu?", dan sebagainya, bagaimana seharusnya kita setelah kita tahu rasa malas dan capeknya?

---------------------------
Ya, memang secara umum tulisan ini tentang menghargai orang lain, dan secara khusus menghargai ibu. Masih banyak kegiatan lain yang bisa diambil pelajarannya terkait dengan hal ini, tapi karena takut kepanjangan, ya cukup ini aja kayaknya.

Secara umum, dengan menggunakan empati untuk mengubah sudut pandang kita, kita akan mengerti bagaimana kerja keras yang dilakukan seseorang. Ambilah contoh "membuang sampah", bagaimana susahnya pekerjaan seorang tukang sapu atau cleaning service, padahal kita cuma cukup membuang sampah pada tempatnya.

Bukan berarti karena laki-laki jadi ga perlu tahu bagaimana rasanya jadi ibu-ibu, dan bukan juga berarti saya mau jadi ibu-ibu. Tapi mari coba sedikit berempati untuk memposisikan diri kita seperti ibu. Ini aja masih secuil pekerjaan yang dilakukan oleh seorang ibu loh.


Dan maaf untuk bapak, saya masih belum tahu soal bagaimana rasanya pekerjaan bapak. Mungkin nanti kalau akan jadi bapak baru bisa belajar soal itu hahahaha.

"Lihatlah dunia dari sudut pandang yang berbeda, maka dunia aka lebih berwarna." - Tanduk Ion

No comments:

Post a Comment